Jumat, 14 November 2014

Boleh aku sebut ini 'kita' ?

Selamat malam. ini malam yang dingin bukan? bersama dinginnya semilir angin yang menembus pori-pori kulit tangan kita masing-masing mendekap. menghangatkan satu sama lain. sepertinya musim hujan sudah mulai tiba. sudah siapkah kita untuk menjadi kaku kedinginan? di tempat yang berbeda, kita masih saling menggenggam. meskipun itu hanya dengan sebatas doa yang sengaja terselipkan suatu nama.

Akankah hari-hari esok selalu seperti ini. menyisakan senyum-senyum masam di ujung bibir saat mengingat kejadian yang baru saja kita lewati, mengingat kecerobohan yang sengaja kita tertawakan tadi. begitu lepas. namun melekat. pada jiwa yang baru saja terikat. pada janji yang baru saja terucap. dimana kita akan saling menjaga satu sama lain.


padahal kita pun sama-sama mengerti. seseorang memiliki satu sisi untuk bisa tetap meyendiri. bahkan tak sadar merasa sepi diantara keramaian. beberapa hal dianggap mampu menjadi penyebab sepi tersebut. sepi bukan berarti benar-benar sendiri. terkadang waktu tersebut sangat dinanti, namun terkadang juga sangat dibenci. tidak semua hal beralasan. maka itu kita ada..

sudahkah kita sama-sama mengucap syukur. atas pertemuan yang mungkin sebelumnya tak pernah kita inginkan. namun nyatanya kini menjadi sangat berarti untuk dikisahkan. mari selalu sepakat untuk percaya, memaafkan tanpa harus diminta, membiasakan untuk paham bahwa sebenarnya semua adalah canda. yang siap mengisi hari-hari indah kelak, dengan keriangan, serta kerenyahan tawa serenyah makaroni DCT.. \m/


Jumat, 03 Oktober 2014

Pengemis Budiman


Hari telah larut malam. Kini saatnya terlelap, melenyapkan segala letih yang menumpuk. Pada  tepi jalan yang beralaskan potongan kardus. Pada gemerlap suasana ibukota. Pada dinginnya hembusan angin. Aku sibuk mengatur posisi potongan kardus yang berbanjar agar cukup memenuhi tubuh kami. Ya. Kami. Aku, Lani, serta Sofi.
“Istriku, marilah kita tidur hari telah larut malam. Lagi pula, sehari ini telah terlewati meskipun nasib semakin tak pasti. Lihat Sofi, anak kita tertidur pulas memeluk dinginnya bantal pinggiran jalan. Wajahnya polos pucat. Perjalanan kita masih sangatlah panjang.” Kataku sambil membelai rambut panjangnya yang kering terkena polusi sisa-sisa siang tadi. Lani hanya tersenyum. Seperti biasa. Matanya memancarkan benih-benih keletihan. Seharian menyusuri jalanan mengharap belas kasihan dari mereka yang lewat.
“Istriku, marilah kita berdoa. Lagi-lagi tolong jangan hiraukan lapar di perut. Tuhan pasti mendengar doa kita. Sekalipun kita hanya pengemis jalanan.” kataku mencoba menguatkan.
          Lagi-lagi Lani, istriku hanya tersenyum. Mengangguk kecil tanda mengerti. Malam ini kami kedinginan untuk kesekian kalinya. Beruntung, trotar di persimpangan jalan terlihat kosong maka kami tak perlu berebut untuk sekadar menggelar potongan kardus alas tidur. Sebenarnya, aku tak sepenuhnya tidur pada setiap malam. Was-was. Begitulah perasaanku. Mataku terpejam seraya memikirkan akan lari kemana kami jika tiba-tiba petugas datang. Mungkin istriku juga begitu. Tapi ia tak pernah menunjukkan rasa khawatirnya padaku. Bagi Lani, Sofi tertidur pulas dan melupakan rasa lapar di perutnya adalah cukup menenangkan.
          Kami memang tak punya batasan waktu untuk bangun jam berapa seperti kebanyakan orang. Yang terpenting shalat shubuh tidak tertinggal. Berbeda lagi dengan orang-orang seperti kami yang bangun setelah klakson mobil saling bersautan dan tiba-tiba menemukan recehan uang yang sengaja dilempar di depan muka ketika bangun tidur. Mereka sering sebut itu sebagai rezeki di pagi hari.
          Dan pagi ini, Aku bersiap kembali. Mencari tempat yang nyaman untuk di duduki. Begitupun dengan Lani, sibuk mencari tempat istirahat sambil menemani Sofi bermain sekaligus tempat untuk tidur malam nanti. Maklum saja kami belum punya tempat untuk menetap. Aku mulai melangkah menyusuri pinggir kota. Tiba-tiba saja aku merasa ada yang memperhatikan dari sisi kanan jembatan penyebrangan. Semakin tak dihiraukan rasanya semakin aku diperhatikan. Aku menoleh. Tampak seorang laki-laki paruh baya menatapku dengan mata yang melotot. Penampilannya tak jauh berbeda denganku. Baju compang-camping tanpa alas kaki, juga topi lusuh bertuliskan nama salah satu partai di Indonesia. Aku beranjak dari pandanganku, melanjutkan langkah ke tempat tujuan. Mungkin hari ini pinggir jalan setapak di taman kota dapat membuahkan lembaran ataupun recehan yang setidaknya mengenyangkan perut kami sampai esok nanti. Aku memilih tak banyak berkata. Hanya menyodorkan kaleng kecil bekas kepada mereka yang lewat sambil menundukan pandangan. Mengatur posisi duduk paling nyaman untuk beberapa jam. Seketika kaleng bekas yang ku genggam terjatuh. Dihempas tangan dari seseorang yang lewat. Kepalaku otomatis mendongak. Ternyata orang yang sejak tadi memperhatikan dari kejauhan itu kini berada tepat di depanku.
“Ngapain gelar lapak di sini?” tanyanya dengan wajah yang kurang menyenangkan untuk dipandang. Aku hanya terdiam. Bertanya dalam hati apakah ia tak bisa melihat sedang apa aku sekarang atau ia hanya ingin mengejek. Tak mungkin. Sekali lagi. Penampilannya tak jauh berbeda denganku.
“Kau tak biasa duduk di sini kan? Berani sekali tiba-tiba datang tanpa meminta izin terlebih dulu.” Ujarnya ketus.
“Memangnya ada petugas yang berjaga di sini sehingga aku harus lapor dulu sebelum duduk dan mengais rezeki di sini?” tanyaku.
“Petugas? Siapa yang bilang kalo kau harus meminta izin kepada petugas?”
“Lalu kepada siapa?”
“Baiklah. Kalau begitu perkenalkan aku Joy penguasa daerah ini. Jadi setiap pengemis yang ingin mengais rezeki seperti katamu di sini maka harus lapor padaku. Dan tentunya ada pajak yang harus dipenuhi setiap hari.” Jelasnya.
Aku mengernyitkan dahi. Sama sekali tak mengerti apa yang orang itu jelaskan.
“Tenang saja, karena kamu tidak tahu maka aku tidak akan memperpanjang masalah ini asalkan kamu tetap membayar pajak untuk hari pertamamu mengais rezeki di Taman Kota  ini.” Jelasnya melanjutkan. Tanpa pamit lagi ia pergi begitu saja. Bahkan tanpa permintaan maaf sekalipun. Aku melanjutkan duduk kembali. Memungut dua sampai tiga logam yang berjatuhan dari kaleng bekas ini. Berharap mereka yang lewat tidak seperti orang tadi.
Lagi-lagi nasib tidak sebaik harapanku. Namun setidaknya cukup untuk membeli sebungkus nasi dengan dua tempe goreng di dalamnya. “Alhamdulillah.”
Bahagianya melihat Sofi makan dengan lahap lewat suapan kasih sayang Lani.
“Bapak tidak makan?’ tanya Sofi dengan mulut penuh nasi.
“Kamu makan saja dengan ibumu, nak. Sampai kenyang ya.” Jawabku sambil tersenyum.
Seperti malam-malam biasanya. Udara malam selalu sama. Dinginnya menusuk sampai tulang-tulang belakang. Semoga saja nasib tak selamanya sama. Kami menutup malam ini dengan nyanyian riang milik Sofi. Laporan hari ini adalah Sofi berhasil menciptakan sebuah lagu tanpa disengaja. Begitu menyenangkan. Sampai tak sadar ia tertidur dalam pangkuanku.
          Hari-hari berikutnya pun begitu. Semuanya sama. Tak ada yang istimewa. Sampai tibalah waktunya aku bertemu dengan seseorang yang cukup dekat jarak rumahnya dengan kami di kampung dulu. Ia sahabat lamaku. Aku biasa memanggilnya Ren. Ren menceritakan semua pengalamannya di kota. Dari mulai datang sampai akhirnya ia punya pekerjaan tetap sekarang. Sebelumnya, ia nampak kaget sekali melihat aku duduk di tepi jalan seperti ini.
“Bagaimana mungkin kau berani mengambil resiko datang ke kota tanpa tujuan yang jelas akan menjadi apa di sini? Sementara kau meninggalkan sepetak sawahmu di kampung dan berharap mendapat yang lebih di ibu kota.” Tanya Ren heran. Aku hanya tersenyum. Bingung harus menjawab apa atas jenis pertanyaan seperti ini. Bukankah wajar seseorang menginginkan kehidupan lebih baik sekalipun tanpa berpikir lebih panjang.
“Bagaimana kabarmu sekarang, Ren? Kau tinggal dimana? apa pekerjaanmu menyenangkan?” tanyaku mencoba mengalihkan.
“Seperti yang kau lihat. Aku tidak terlalu berbeda seperti dulu. Aku tinggal di tempatku bekerja sekarang. Bagiku, pekerjaan bukan tentang masalah menyenangkan atau tidak namun tentang terpenuhinya kebutuhan. Ingat. Kebutuhan. Bukan keinginan. Hidup ini realistis, kawan.” Jawabnya seraya menepuk bahu kananku. Kami tertawa. Jika dipikir-pikir jawaban Ren benar juga. Kami membicarakan tentang banyak hal. Termasuk tentang niatku untuk kembali ke kampung halaman tentunya bersama Lani, dan juga Sofi. Namun sayang, jangankan ongkos untuk pulang kampung. Untuk makan saja kami masih sering alpanya.
“Badanmu masih terlalu kekar untuk menjadi pengemis. Pantas saja kaleng bekasmu itu tidak pernah penuh. Mereka yang lewat akan berpikir dua kali untuk berbagi rezeki denganmu. Besok kita bertemu lagi di tempat ini, akan ku ajak kau menemui mandorku. Semoga kau bisa bergabung dalam proyek yang sedang ku kerjakan. Aku tak bisa lama-lama. Kalau begitu aku pergi dulu.” Ujar Ren singkat.
          Aku kaget bukan main. Ren mengajakku bekerja bersamanya. Semoga saja besok bisa ku tinggalkan kaleng bekas ini dari genggaman tangan. Biar saja jadi kuproy atau kuli proyek sekalipun. Karena pekerjaan bukan tentang masalah menyenangkan atau tidak namun tentang terpenuhinya kebutuhan. Kalimat itu seakan terus mengiang di kepalaku. Sesampainya di tempat peristirahatan, aku menceritakan semuanya pada istriku, Lani. Tidak ada ekspresi berlebihan di wajah sabarnya. Ia hanya tersenyum senang. Tapi aku tahu, ada doa-doa tulus sedang ia lantunkan di hatinya.
          Hari ini sungguh berbeda dari hari-hari kemarin. Langit terasa lebih cerah dan seakan tersenyum padaku lewat lengkungan bulan sabit yang sinarnya begitu terang. Aku sibuk merangkai keping-keping harapan yang mulai datang menghampiri. Mandor menerimaku bergabung di proyek. Meski ternyata menjadi kuli proyek jauh lebih melelahkan ketimbang menjadi pengemis namun aku merasa lebih menjadi seseorang yang berguna. Setidaknya ada keringat yang harus aku keluarkan untuk mendapat upah. Kabar baiknya lagi. Aku mendapat satu tempat kosong untuk ditinggali. Walaupun sama-sama berasal dari kardus tapi kali ini potongan-potongan kardus dibentuk menyerupai istana. Tidak. Aku berlebihan. Sofi yang mengetahui akan hal ini berseru tak karuan. “Hore..kita punya rumah. Horee aku tidak akan kedinginan lagi.” Kata Sofi.
          Di tempat yang baru istriku malah terlihat sedikit murung. Aku yakin tempat ini mengingatkan Lani pada gubuk kecil kami di kampung. Gubuk yang penuh dengan kenangan.
“Apa tempat ini membuatmu merindukan gubuk kecil kita, istriku? Aku akan bekerja keras untukmu dan Sofi. Aku berniat untuk menyisihkan setiap hasil upahku di proyek untuk pulang. Mungkin ini akan berlangsung lama. Tapi kau tak perlu khawatir karena akupun tak ingin menderita lebih lama di Kota orang. Setidaknya, jika kita di kampung kita masih bisa mengurus sepetak sawah yang Bapakku wariskan dulu. Aku yakin itu akan cukup untuk membiayai hidup sekaligus sekolah Sofi.” kataku pelan.
“Kau adalah pemimpin keluarga ini. Aku ikut denganmu sepenuhnya. Sekalipun itu dalam suka maupun duka. Jika kewajibanmu adalah menafkahi aku dan Sofi maka kewajibanku adalah membantumu, mendoakanmu, dan selalu berada di sisimu, mas. Kau tidak perlu bersusah payah untuk memikirkan ongkos pulang, jika memang kelak kita harus kembali ke kampung halaman maka semua pasti akan ada jalannya.” Jawab istriku. Kalimat-kalimatnya begitu menyejukkan hati. Membuatku semakin merasa beruntung mendapatkan seseorang seperti dia.
Hari-hari berlalu begitu cepat. Kata mandor, pekerjaanku semakin terlihat rapih dan baik. Begitu juga dengan Ren yang baru dua hari lalu di angkat menjadi wakil mandor. Tapi ini tak mengundurkan keinginanku untuk kembali ke kampung halaman. Pembuatan apartemen ini memang sangat membutuhkan banyak tenaga kerja terlatih selain milyaran modal tentunya. Dari sinilah upahku sudah semakin bertambah. Alhasil tabunganku sudah cukup untuk membeli tiket kereta api menuju kampung halaman. Sofi yang masih kecil memudahkan kami untuk dipangku saja selama perjalanan, sehingga aku cukup membeli dua tiket saja. Setelah berpamitan dengan Ren dan pekerja lainnya aku, Lani dan Sofi pun segera berangkat ke stasiun. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih atas bantuan yang Ren berikan selama ini. Ren memang orang yang sangat terlihat cuek walau sebenarnya ia peduli. Tak heran jika mandor sangat percaya padanya untuk mengatur urusan proyek.
Di kampung halaman, aku kembali melakukan tugas sebagai seorang petani. Banyak orang yang sibuk menggunjingkan kami selama berada di Ibu kota. Meskipun tak semuanya begitu. Entah bersumber darimana warga kampung bisa tahu aku sempat menjadi seorang pengemis. Tambah lagi dengan kepulanganku yang hanya membawa pakaian seadanya. Hal itu meyakinkan mereka kalu aku mantan pengemis. Tidak seperti warga lain yang ketika pulang dari Ibu kota menjadi saudagar kaya raya. Tapi ku rasa telingaku sudah kebal mendengar cemoohan ibu-ibu yang bergunjing di pinggir pasar. Tak jarang mereka menggunjing tepat di sebelah telinga istriku. Beruntung, Lani bukan tipe orang yang mudah terpancing emosinya. Kalau tidak, mungkin akan terjadi adu mulut seperti yang biasa terjadi di kampungku. Aku melanjutkan rutinitas seperti biasa. Begitu juga dengan Lani. Aku hanya sesekali memintanya untuk membantu karena aku lebih senang ia selalu mengawasi Sofi agar tidak mendengar hal-hal yang dapat menyakiti hati kecilnya yang belum mengerti apa-apa.
Beberapa dari warga kampung mamintaku menceritakan pengalaman ketika bekerja di ibu kota. Ada yang benar-benar hanya ingin tahu. Namun ada juga yang ingin tahu untuk kembali diceritakan kepada warga lain dengan bumbu yang berlebihan pastinya. Kurasa semua itu wajar. Manusia memang masing-masing kodratnya.
Beginilah suasana di kampung halaman. Memang datar-datar saja. Tapi yang jelas lebih baik dari pada di kota orang. Rutinitas bertani terus berjalan seperti biasa hanya saja kali ini ditemani oleh para mahasiswa dari fakultas pertanian di salah satu universitas negeri di kampungku. Mereka sedang memberi pelatihan kepada para petani di sini agar mendapatkan hasil panen yang lebih baik. Para mahasiswa juga menyampaikan mengenai Corp Rotation atau penanaman lahan disesuaikan dengan musim sehingga hasilnya dapat maksimal. Aku mendengar dengan baik pengarahan dari mereka. Cara penyampaian yang sopan membuat kami para petani siap mempraktikkan hal-hal yang telah diajarkan. Bulan  ini misalnya, dengan hanya sepetak lahan tanam yang ku miliki hasil panennya pun lebih cepat. Tomat-tomat ini nampak begitu segar dan sehat. Terdengar seruan beberapa kawan tani yang ikut bergembira karena berhasilnya panenku kali ini. Namun kurasa tidak dengan tetangga belakang rumah yang sawahnya terjulur beberapa hektar sampai ke tepian jalan raya. Dari matanya yang terlihat kurang simpati atas hasil panenku serta tutur kata yang begitu ketus ketika menjawab pertanyaan basa-basiku. Memang ku dengar dari segelintir orang kalau hasil panen orang tersebut sedang menurun sekarang. Aku bukannya tidak peduli. Hanya saja aku tak terlalu ingin tahu mengenai hal itu. Mengurusi sepetak lahan yang ku miliki saja sudah cukup melelahkan apalagi harus mengorek-ngorek perkembangan lahan orang lain. Entah karena alasan apa, aku melihat orang itu beberapa kali berada di lahan ku pada malam hari sambil berdiri menaburkan sesuatu pada benih tomat yang baru ku semai untuk separuh lahan yang masih kosong. Segera saja aku membereskan butiran-butiran yang orang tersebut sebar tadi sehingga tidak mengurangi kualitas tomatku nanti. Aku malas mancari tahu apa yang ia sebar itu. Toh aku juga sudah dengar dari beberapa tetangga dekat bahwa ia kurang suka melihat panenku selalu berhasil. Lagi-lagi aku memaklumi itu. Ya. Akupun sama. Hanya manusia biasa. Dengan kodrat masing-masing sifat di dalamnya.
Beberapa kawan tani yang ingin mendapat hasil panen sesehat dan sesegar hasil panenku memintaku untuk mengajari mereka agar tahu cara merawat sesuatu yang sedang di tanam dengan detail sebagai pengganti para mahasiswa yang sudah selesai memberikan pengarahan. Awalnya aku berbagi pengalaman hanya karena senang. Mereka sangat menyenangkan dalam urusan bertani. Tak jarang mereka mengantarkan beberapa buah dari hasil panennya ke rumahku. Sofi bilang ini rezekinya. Rezeki anak baik dan penurut sepeti dirinya. Lani hanya meng-amini. Akupun begitu.
Ternyata rezeki Sofi tidak hanya terhenti disitu saja. Aku di panggil sampai ke kampung sebelah hanya untuk memberi pengarahan mengenai cara untuk mendapatkan hasil panen yang baik. Dan itu tidak gratis. Aku tidak memintanya. Ketika pamit pulang salah satu tani mengucapkan terima kasih sekaligus menyelipkan sebuah amplop pada saat kami bersalaman. Hal ini berlangsung berulang kali. Sampai akhirnya aku bisa menambah beberapa petak luas lahanku. Aku merasa nasib keluargaku kini mulai berubah meski dengan proses yang panjang. Tahun depan Sofi akan resmi menjadi siswi sekolah dasar. Saking semangatnya segala perlengkapan sekolah sudah tersedia di rumah. Sofi juga sudah bisa menjumlahkan beberapa angka yang dia dapat saat membantu Lani menghitung jumlah ikat sayuran hasil panen. Dan aku sudah memiliki dua orang yang akan membantuku bertani selain Lani.
“Aku sangat bahagia,Lani.” Kataku sambil tersenyum ke arah Lani yang sedang menguncir rambut ikal Sofi di bale bambu kecoklatan.
“Akupun begitu, mas. Aku berharap semua yang kita rasakan sekarang tak akan menghilangkan rasa syukur kita bahkan membuat kita semakin rajin dan tentunya makin yakin bahwa nikmat-Nya takkan pernah salah alamat.” Jawab Lani dengan senyum termanis yang pernah ku lihat. Dengan binar-binar kebahagiaan yang tersembunyi di balik kelopak indah matanya. Lagi-lagi aku selalu merasa beruntung atas segala anugerah yang Dia berikan, terutama anugerah terbesarku, istri paling sabar juga anak paling baik dan penurut; Lani dan Sofi.
          Setelah perjalanan panjang yang begitu melelahkan, aku dapat memahami inti kehidupan bahwa kebahagiaan yang utama adalah kebahagiaan yang berasal dari hati. Sementara gemerlap dunia akan mengikuti sesuai yang telah ditentukan oleh-Nya.


                                                                                                 

Sabtu, 30 Agustus 2014

Scroll down.
Lora tak pernah bosan melakukan itu setiap hari pada list favorit miliknya sendiri. Berulang-ulang. Dengan ekspresi yang sama. Tersipu. Bahagia. Disusul kenangan Lora masih asik dengan ingatannya. Tak sedikitpun terganggu. Lapar. Sekalipun mules. Lora hanya akan beranjak saat dipaksa. Mandi saja cukup sekali dalam sehari.

Ingatannya begitu melekat. Tak berkurang sedikitpun. Tentang siapa lagi kalau bukan Natan. Lora menghela napas. Entah sampai kapan dia berhenti mengenang. Lumpuhkan ingatanku - Geisha jadi andalannya tiap malam. Tak bosan. Dan tak akan bosan. Gerak-gerik mulutnya mengikuti nada, meski sering tertinggal beberapa bait. Lora tetap menghayati. Begitu dalam.

Kali ini Lora mengernyitkan dahi. Ini adalah untuk ke sekian kalinya. Kalimat yang ia tuliskan sendirilah yang buat ia mengernyit. Menyeka dahi. Tangannya berhenti men-scrolldown. Menatap tulisan itu dalam-dalam. Terlihat sekali dia merenung...

Lora benar-benar rindu Natan. Sesekali isak tangisnya terdengar. Namun ia tak bisa apa-apa. Kepalanya ingin meledak. Menghempaskan semuanya. Sampai ia benar-benar melupa. Lora berharap Natan datang. Sekadar melerai isaknya. Lora tahu betul itu takkan pernah terjadi. Natan tak akan datang. Sekalipun sampaikan kabar. Tak akan. Tapi Lora tak pernah bosan juga berharap.

Lora suka memendam. Tak ada yang tahu tentang Natan. Termasuk Rere, kakak Lora. Rere tahu Lora tak suka keluar kamar sejak ia mulai sering melamun.  Meski tak tau apa penyababnya. Rere sungkan bertanya.

Ya. Mereka bukan kakak-beradik yang akrab.

Sejak dulu. Sejak Lora bicara pada lukisannya sendiri. Lukisan laki-laki tampan dengan lesung pipi yang cukup terlihat nyata, kumis tipis dan alis tebal yang sedikit tertutup anak rambut di depannya. Rere mendengarnya. Ia menyeringai ngeri. Lora mulai lagi. Berulang kali.
Usut punya usut. Rere penasaran pada lukisan yang tak henti Lora pandangi setiap hari. Ia menyelinap masuk kamar Lora. Ternyata Lukisan itu punya nama kecil di bagian bawahnya.. Nathan. Ya. Namanya Nathan.
"Hebat juga tuh anak. Belom pernah ketemu cowok udah bisa lukis orang secakep ini."

Rere beranjak keluar. Namun terhenti ketika sesuatu jatuh dari meja yang berdampingan dengan lukisan berjudul Nathan. Ia membukanya perlahan. Agar setiap lembaran tak membangunkan adiknya yang ganas karena terbangun dari lelap tidurnya itu. Rere menyeka dahi. Judul buku itu juga Nathan. Siapa itu Nathan?

Lora tak mengenal siapapun. Siapapun. Ia hanya gadis kecil malang yang istimewa. Dulu, ia adalah salah satu siswi terbaik di SLB. tapi itu dulu, sebelum ia merengek-rengek ingin sekolah bersama Rere. Karena tak diizinkan Lora mengutuk dirinya sendiri di dalam kamar. Sampai sekarang. Lalu mengapa bisa ia melukis wajah laki-laki itu? Menceritakan kisah-kisah itu seakan dia.....
"Atau Nathan hanya....hanya...khaya..lan.."

Kamis, 31 Juli 2014

Dengar aku, Nisa. - Selurik Kisah

Ku tutup pesan lama darimu di e-mail mendekati hari bahagia kita.
Walau cuma ada beberapa kata di dalamnya.

Aku ingat betul isinya.
"InsyaAllah aku bahagia denganmu,mas."

Hafal benar bagaimana ekspresiku saat itu. Saat dentum nada yang menandakan pesanmu datang. Aku..aku begitu senang.

Aku yakin kamu juga masih ingat itu.

Saat-saat mengenang seperti ini yang paling aku sukai. Kamu juga kan, Dik?

                                 ***
Di toko buku Angkasa lah pertama kalinya aku mengenalmu. Maksudku, mengenal tulisannmu.
Aku mulai mencari maksud dari setiap kata yang kau rangkai. Tapi aku malah terjebak di dalam ejaan sederhana itu. Kisah yang kau tuang membuatku penasaran. Penasaran pada nama yang tertera di belakang buku dengan judul "Fitrah Cinta" . Biografi singkat tanpa foto pada halaman belakang malah makin buat aku tertarik mencari tahu siapa dirimu. Gadis yang sering terlupakan namanya olehku. Tapi, itu dulu. Dulu sebelum aku rutin menyebut namamu dalam doa.

Mungkin kiprahmu dalam menulis waktu itu belum lama. Karena akupun baru menemukan buku itu setelah sering datang hanya untuk membeli titipan buku adikku. Buku yang akhirnya mengantarkan kita pada perkenalan atas izin Allah.

Akhirnya aku merasa teramat ditolong juga oleh Sally, Adikku. Kegemaran Sally dalam membaca serta menulis membawanya pada sebuah acara meet and greet (m&g) penulis Fitrah cinta. Ya. Dia yang ku ingin ketahui.

Aku sangat bersemangat hari itu untuk mengantar Sally ke acara m&g. Berharap bisa melihatmu walau sekilas.

"Maaf ini  acara khusus akhowat. Kalau mas sedang menunggu seseorang silahkan tunggu di depan."
Aku kaget luar biasa saat ketahuan sedang megintip-intip ke dalam gedung. Akhirnya aku mematalalkan niatkiu untuk menunggui Sally sampai acara selesai. Ah ini karena perempuan yang mengagetkanku tadi!

"Kok aku ditinggal sih mas azam?katanya mau nunggu sampe acara selesai. Untung saja tadi diantar sama yang punya acara.huh." kata Sally yang tiba-tiba menggerutu.

"Kamu diantar siapa?yang punya acara?maksudmu penulisnya?"

"Iya. Kenapa mas?"

"Terus kok ga disuruh mampir?cantik ya Sal pasti."

"Bukan cantik-cantik lagi mas. Katanya ia masih ada urusan jadi ga bisa mampir. Tapi katanya lain kali mau mampir dan ajak Sally ke perpustakaan miliknya mas. Baik banget kan? Memang mba nisa itu orangnya ramah sekali mas."

Jadi namanya Nisa.

Setelah Nisa beberapa kali datang menjemput Sally akhirnya aku diperkenalkan juga dengannya. Ternyata dia adalah yang mengagetkanku di acara itu. Subhanallah.
Kamu sangat nampak begitu taat, Dik.
Tndukkan pandanganmu lah yang memberikan keyakinan bahwa kamu adalah jodoh yang Allah kirim untukku.
                                 ***
"Sudahlah mas, jangan begini terus. Kasian kan mba Nisa. Biar tenang dia di sana, mas."
Kata Sally yang tiba-tiba duduk di sampingku.

Aku menghela napas. Tapi benar juga kata Sally, sudah hampir 2tahun aku begini. Merenungi kecelakaan pesawat itu. Pesawat yang harusnya mengantarkan Nisa kembali ke sini setelah acara lamaran selesai seminggu sebelumnya. Nisa tak mungkin kembali. Dia sudah lama pergi. Tak mungkin hari bahagia Aku dan Nisa terjadi.

Harusnya aku sudah mengikhlaskannya, mengubur dalam-dalam tiap rangkaian katanya agar aku tak selalu mengharapkannya. Toh aku yakin ia mendengar setiap doa yang ku kirim untuknya.

Aku pun memilih beranjak dari sepiku ini. Dua bulan lagi aku akan meminang Azahra, sahabat Nisa. Ia tak kalah taat dengan Nisa. Hanya saja sedikit lebih tua dariku. Ia punya satu putri mungil yang sudah dua tahun pula ditinggal wafat ayahnya. Mungkin ini adalah yang kau inginkan, Nisa. Aku juga tulus pada Azahra. Aku yakin Azahra dapat membuatku bahagia dengannya tanpa harus mengusirmu dari hatiku. Karena kau sudah punya tempat sendiri lebih dulu.
                                 ***

Rabu, 23 Juli 2014

LDR

Kali ini siang terasa begitu pekat, penat, tanpa gerak-gerik awan serta hembusan angin yang biasanya lewat. Hati ini terpaku akan hal-hal indah yang Engkau ciptakan untukku sejak dulu. Sampai-sampai sajakku pun takkan pernah sanggup menyentuh batas-Mu. Menari bersama jari-jari yang mengadah diikuti isak sendu merupakan hal yang lebih indah dari apapun. Terasa begitu lega. Walau tak mungkin ada satu rasa rindu yang terbebas dari jeratan kalbu karena ini akan selalu terjaga dan terbalut hangatnya kasih yang diselimuti kecemasan. Selain padaMu, manamungkin aku berani secinta ini.
Tak seperti kebanyakan orang yang tersiksa oleh hubungan jarak jauh aku malah begitu merasa dekat dengan-Mu. Tambah lagi di saat-saat sekarang ini.
Subhanallah rasanya!
Tak perlu repot-repot memberi simbol love atau titik dua bintang karena yang pasti,
Apapun yang dari hati..
Lebih terasa hadirnya.

Sabtu, 12 Juli 2014

#celoteh2

Semakin hari nikmat yang manusia terima semakin  membeludak dan bersamaan dengan hal itu pula rasa puas tak akan pernah hadir. Mungkin sudah terlalu yakin dan bergantung pada target sehingga jika Dia berkata lain maka lagi-lagi kita 'merasa kecewa'. Beberapa hal yang harus dipahami adalah ketika bagaimana kekecewaan dapat hadir sementara tak ada yang menciptakannya. Lalu apakah bisa menganggap bahwa Dia ingin mengecewakan. Ku dengar ini dan ku yakini ini: "Dia Maha Mengetahui Segala Sesuatu". Ya! Pasti Dia akan memberikan apa yang kita 'butuhkan' bukan yang kita 'mau'. Kini tinggal mencoba yakin akan keajaiban yang akan terjadi nanti setelah yang sebenarnya kita 'butuhkan' telah terasa maknanya. Sakit memang menerima kenyataan yang membuktikan kita tak dapat memiliki apa yang kita mau. Melenceng dari setiap list yang telah disusun sebelumnya. Tapi terpuruk bukanlah jalan yang baik. Semua orang tahu itu; tak semua dapat ikhlaskan itu. Melati..ajaklah aku bersemi bersama cantik nan harummu, membuat indah telinga si pemetikmu.

Selasa, 01 Juli 2014

#celoteh1

Dalam sistem masa kini dimana visi misi adalah yang utama. semua berlomba-lomba menyusun kalimat sehingga terlihat seakan-akan paling memenuhi keluhan. tak usah bicara kepala negara jika dari urusan sebesar ini saja masih harus kami keluhkan. Membuat sesuatu yang katanya harus 'sesuai ajaran agama yang di anut' namun malah mengubah menjadi tradisi. Apa-apa harus terikat, katanya memang kami masih terikat. Lantas apa guna hak yang sudah bukan katanya lagi memberi kebebasan. Apa karena belum dapat ktp maka hak itu tak berlaku. Ini sumbernya! Jika tak ada pengarahan maka yang datang hanya keinginan pribadi. Masih bisa mereka sebut 'Ribet' untuk hal yang memang sudah ditetapkan oleh kitab suci!? Masih bisa mereka singkirkan apa yang seharusnya diprioritaskan!? Jika yang fanatik tak seharusnya masuk organisasi maka siapa yang akan mengingatkan? jika sudah diperingatkan saja masih ditentang maka hanya arogan yang berdiri di dalamnya. Sebagaimana hidup harus saling mengingatkan maka kami pun malaksanakannya. Sejahteralah umat ketika sudah samasama saling menguatkan!

Selasa, 22 April 2014

Usai Senja


Sore ini, lagi-lagi ingatanku merekat padamu. Ditemani semilir angin yang membuat nyiur-nyiur itu menari penuh kesenduan dan aku..aku semakin larut. Luka yang kau hadirkan sering mengundang rasa sesak belakangan ini. Entah bagaimana dengan perasaanmu, karena sepertinya aku (ingin) mulai tak peduli. Jelas ini masih tahap percobaan karena mustahil aku dapat melupakan setiap kenangan yang tercipta dalam kurun waktu yang lama hanya dengan sekejap. Awalnya, aku masih mengingkar dari kepenatan ini. Kau tahu mengapa? Karena aku terlalu menaruh rasa percaya padamu namun kau malah pergi meninggalkan duka yang begitu menjerat. Sungguh aku ingin lepas dari ini semua, manakala ada hal yang dapat membuatku teringat padamu..rasanya ingin sekali aku lemparkan nuklir ke kepalamu yang botak itu! Sadarlah sayang, keputusanmu itu tak memberi jalan keluar.
Mereka mungkin terlihat tak peduli, tapi kau hanya melihat dari sebelah sudut saja, adikku sayang. Untuk apa kau mencari ketika sebenarnya kau telah menemukan. Aku di sini, mencoba tegar hanya untuk memberi kekuatan kecil padamu. Kini aku semakin merasa asing dalam hidupku sendiri, selalu saja ku merasa sendiri walau sesungguhnya aku berada dalam keramaian. Bahkan kau tak tahu betapa aku hancur karena seakan aku tak bisa menjagamu. Bagaimana tidak? Kau mati dengan tragis seperti oarang tak punya iman.
“Perpisahan mereka mungkin terlalu dini untuk kau rasakan akibatnya, bukan hanya kau yang kehilangan..tapi aku juga Dik. Semoga kau jauh lebih tenang di sana.” Kataku sambil menebar kembang di atas makammu sebelum akhirnya doa orang laki-laki berpiakaian polisi itu datang.
“Permisi..”  tegur laki-laki berjaket hitam.
“Maaf ada apa Pak?” tanyaku bingung.
“Kami minta maaf bila kedatangan kami menambah beban mbak sebagai kakak dari Didit Sunandar, namun ada hal yang harus kami sampaikan, satu bulan lalu, Didit dan dua temannya melakukan perampokan di minimarket bos saya, sebenarnya bos saya ingin Mereka mempertanggungjawabkannya di kepolisian, namun karena ini tak bisa dilakukan maka pihak keluarga wajib membayar denda sebesar Rp. 10.000.000 per pelaku sebagai tanda berdamai sekaligus mengganti kerugian yang diakibatkan oleh Alm.Didit dan kedua temannya.. Dan dua temannya sudah sepakat untuk berdamai.” Jelas Pak polisi.
“Apa? Mana mungkin adik saya melakukan perampokan? Dia bahkan tak pernah ingin mengambil lebih uang jajannya, jadi tak mungkin ia melakukan hal itu. Lagipula dia selalu tercukupi jadi untuk apa dia mencuri?” jawabku.
“Soal hal itu saya tidak ingin tahu dan pasti juga dengan bos saya. Baiklah, saya permisi dulu. Mbak bisa mengirimka uangnya melalui rekening bos saya yang nanti akan disms-in pinnya. Sekali lagi saya minta maaf dan ikut berduka cita atas kepergian Didit.” Kata laki-laki satunya.
Lagi-lagi ini bukan soal biaya, namun kenapa sampai bisa begini tingkahmu Dik. Hanya dengan waktu kurang lebih 3bulan meninggalkan rumah kau sudah bisa berbuat seperti ini. Kalau sudah seperti ini, dengan siapa aku berbicara? menumpahkan semua beban hidupku ini. Suasana sepertinya jadi lebih mencekam, aku tak bisa menyalahkan Didit seutuhnya. Mungkin tekanan yang aku rasakan tak sehebat tekanan yang terjadi pada anak remaja layaknya Didit. Perceraian papa dan mama membuahkan banyak makna, hikmah setelah awalnya hanya keluhan yang membugkus. Aku harus yakin bahwa Dia selalu punya rencana indah dibalik ujian yang Dia berikan. Di sinilah..bersama sinar yang dihasilkan dari bias antara petang dan malam di bawah ekuator. Ini memang belum selesai, tapi ku nikmati semua sebelum akhirnya hilang dan berlalu, bersama senja yang menumpahkan biasnya di aksara membawaku pada satu keyakinan bahwa senja akan segera usai..





Sabtu, 19 April 2014

Noda Kecil

Malam ini tak ada yang berbeda. Semilir angin masih menembus tulang-tulang kecil di dalam sini. Menggetarkan angin yang mungkin telah lama mengendap di tubuhku ditambah dengan angin mungil dari kipas rentan yang tak kunjung henti berputar. Di atas karpet pipih inilah mulainya timbul percakapan. Antara aku dan si kecil yang sok tahu. Ya! dia adikku. mula-mula hanya gelak tawa penuh canda dan keriangan yang tercipta namun hal itu berubah ketika ia mulai lagi dengan ke-sok-tahuannya itu.
Q: "Mengapa banyak bulatan di wajahmu?"
R: "Karena sudah tiba saatnya."
Q: "Ah tapi aku tak ingin miliki yang ini.Terlalu terlihat menonjol."
R: "Hei! kau pikir siapa yang mau menyimpan benda-benda mungil ini?!"
Tak berhenti sampai disitu, dia masih saja berbicara dengan suara khas ledeknya itu. Lalu harus apa? meladeni jiwa periang dan keingintahuannya yang berlebih itu ditambah dengan vonis-vonis nakal berasaskan sebab-akibat. Aku tak sehebat dirimu dalam meluncurkan premis-premis jenaka penuh dendam, Adik kecil.