Jumat, 10 Oktober 2014
Jumat, 03 Oktober 2014
Pengemis Budiman
Hari telah larut malam. Kini saatnya
terlelap, melenyapkan segala letih yang menumpuk. Pada tepi jalan yang beralaskan potongan kardus.
Pada gemerlap suasana ibukota. Pada dinginnya hembusan angin. Aku sibuk
mengatur posisi potongan kardus yang berbanjar agar cukup memenuhi tubuh kami.
Ya. Kami. Aku, Lani, serta Sofi.
“Istriku, marilah kita tidur hari telah larut malam. Lagi
pula, sehari ini telah terlewati meskipun nasib semakin tak pasti. Lihat Sofi,
anak kita tertidur pulas memeluk dinginnya bantal pinggiran jalan. Wajahnya
polos pucat. Perjalanan kita masih sangatlah panjang.” Kataku sambil membelai
rambut panjangnya yang kering terkena polusi sisa-sisa siang tadi. Lani hanya
tersenyum. Seperti biasa. Matanya memancarkan benih-benih keletihan. Seharian
menyusuri jalanan mengharap belas kasihan dari mereka yang lewat.
“Istriku, marilah kita berdoa. Lagi-lagi tolong jangan
hiraukan lapar di perut. Tuhan pasti mendengar doa kita. Sekalipun kita hanya
pengemis jalanan.” kataku mencoba menguatkan.
Lagi-lagi
Lani, istriku hanya tersenyum. Mengangguk kecil tanda mengerti. Malam ini kami
kedinginan untuk kesekian kalinya. Beruntung, trotar di persimpangan jalan
terlihat kosong maka kami tak perlu berebut untuk sekadar menggelar potongan
kardus alas tidur. Sebenarnya, aku tak sepenuhnya tidur pada setiap malam.
Was-was. Begitulah perasaanku. Mataku terpejam seraya memikirkan akan lari
kemana kami jika tiba-tiba petugas datang. Mungkin istriku juga begitu. Tapi ia
tak pernah menunjukkan rasa khawatirnya padaku. Bagi Lani, Sofi tertidur pulas
dan melupakan rasa lapar di perutnya adalah cukup menenangkan.
Kami memang
tak punya batasan waktu untuk bangun jam berapa seperti kebanyakan orang. Yang
terpenting shalat shubuh tidak tertinggal. Berbeda lagi dengan orang-orang
seperti kami yang bangun setelah klakson mobil saling bersautan dan tiba-tiba
menemukan recehan uang yang sengaja dilempar di depan muka ketika bangun tidur.
Mereka sering sebut itu sebagai rezeki di pagi hari.
Dan pagi ini,
Aku bersiap kembali. Mencari tempat yang nyaman untuk di duduki. Begitupun
dengan Lani, sibuk mencari tempat istirahat sambil menemani Sofi bermain
sekaligus tempat untuk tidur malam nanti. Maklum saja kami belum punya tempat
untuk menetap. Aku mulai melangkah menyusuri pinggir kota. Tiba-tiba saja aku
merasa ada yang memperhatikan dari sisi kanan jembatan penyebrangan. Semakin
tak dihiraukan rasanya semakin aku diperhatikan. Aku menoleh. Tampak seorang
laki-laki paruh baya menatapku dengan mata yang melotot. Penampilannya tak jauh
berbeda denganku. Baju compang-camping tanpa alas kaki, juga topi lusuh
bertuliskan nama salah satu partai di Indonesia. Aku beranjak dari pandanganku,
melanjutkan langkah ke tempat tujuan. Mungkin hari ini pinggir jalan setapak di
taman kota dapat membuahkan lembaran ataupun recehan yang setidaknya
mengenyangkan perut kami sampai esok nanti. Aku memilih tak banyak berkata.
Hanya menyodorkan kaleng kecil bekas kepada mereka yang lewat sambil menundukan
pandangan. Mengatur posisi duduk paling nyaman untuk beberapa jam. Seketika
kaleng bekas yang ku genggam terjatuh. Dihempas tangan dari seseorang yang
lewat. Kepalaku otomatis mendongak. Ternyata orang yang sejak tadi
memperhatikan dari kejauhan itu kini berada tepat di depanku.
“Ngapain gelar lapak di sini?” tanyanya dengan wajah yang
kurang menyenangkan untuk dipandang. Aku hanya terdiam. Bertanya dalam hati
apakah ia tak bisa melihat sedang apa aku sekarang atau ia hanya ingin
mengejek. Tak mungkin. Sekali lagi. Penampilannya tak jauh berbeda denganku.
“Kau tak biasa duduk di sini kan? Berani sekali tiba-tiba
datang tanpa meminta izin terlebih dulu.” Ujarnya ketus.
“Memangnya ada petugas yang berjaga di sini sehingga aku
harus lapor dulu sebelum duduk dan mengais rezeki di sini?” tanyaku.
“Petugas? Siapa yang bilang kalo kau harus meminta izin
kepada petugas?”
“Lalu kepada siapa?”
“Baiklah. Kalau begitu perkenalkan aku Joy penguasa daerah
ini. Jadi setiap pengemis yang ingin mengais rezeki seperti katamu di sini maka
harus lapor padaku. Dan tentunya ada pajak yang harus dipenuhi setiap hari.”
Jelasnya.
Aku mengernyitkan dahi. Sama sekali tak mengerti apa yang
orang itu jelaskan.
“Tenang saja, karena kamu tidak tahu maka aku tidak akan
memperpanjang masalah ini asalkan kamu tetap membayar pajak untuk hari
pertamamu mengais rezeki di Taman Kota ini.”
Jelasnya melanjutkan. Tanpa pamit lagi ia pergi begitu saja. Bahkan tanpa
permintaan maaf sekalipun. Aku melanjutkan duduk kembali. Memungut dua sampai
tiga logam yang berjatuhan dari kaleng bekas ini. Berharap mereka yang lewat
tidak seperti orang tadi.
Lagi-lagi nasib tidak sebaik harapanku. Namun setidaknya
cukup untuk membeli sebungkus nasi dengan dua tempe goreng di dalamnya.
“Alhamdulillah.”
Bahagianya melihat Sofi makan dengan lahap lewat suapan
kasih sayang Lani.
“Bapak tidak makan?’ tanya Sofi dengan mulut penuh nasi.
“Kamu makan saja dengan ibumu, nak. Sampai kenyang ya.”
Jawabku sambil tersenyum.
Seperti malam-malam biasanya. Udara malam selalu sama.
Dinginnya menusuk sampai tulang-tulang belakang. Semoga saja nasib tak
selamanya sama. Kami menutup malam ini dengan nyanyian riang milik Sofi.
Laporan hari ini adalah Sofi berhasil menciptakan sebuah lagu tanpa disengaja.
Begitu menyenangkan. Sampai tak sadar ia tertidur dalam pangkuanku.
Hari-hari
berikutnya pun begitu. Semuanya sama. Tak ada yang istimewa. Sampai tibalah
waktunya aku bertemu dengan seseorang yang cukup dekat jarak rumahnya dengan kami
di kampung dulu. Ia sahabat lamaku. Aku biasa memanggilnya Ren. Ren
menceritakan semua pengalamannya di kota. Dari mulai datang sampai akhirnya ia
punya pekerjaan tetap sekarang. Sebelumnya, ia nampak kaget sekali melihat aku
duduk di tepi jalan seperti ini.
“Bagaimana mungkin kau berani mengambil resiko datang ke
kota tanpa tujuan yang jelas akan menjadi apa di sini? Sementara kau
meninggalkan sepetak sawahmu di kampung dan berharap mendapat yang lebih di ibu
kota.” Tanya Ren heran. Aku hanya tersenyum. Bingung harus menjawab apa atas
jenis pertanyaan seperti ini. Bukankah wajar seseorang menginginkan kehidupan
lebih baik sekalipun tanpa berpikir lebih panjang.
“Bagaimana kabarmu sekarang, Ren? Kau tinggal dimana? apa
pekerjaanmu menyenangkan?” tanyaku mencoba mengalihkan.
“Seperti yang kau lihat. Aku tidak terlalu berbeda seperti
dulu. Aku tinggal di tempatku bekerja sekarang. Bagiku, pekerjaan bukan tentang
masalah menyenangkan atau tidak namun tentang terpenuhinya kebutuhan. Ingat.
Kebutuhan. Bukan keinginan. Hidup ini realistis, kawan.” Jawabnya seraya
menepuk bahu kananku. Kami tertawa. Jika dipikir-pikir jawaban Ren benar juga.
Kami membicarakan tentang banyak hal. Termasuk tentang niatku untuk kembali ke
kampung halaman tentunya bersama Lani, dan juga Sofi. Namun sayang, jangankan
ongkos untuk pulang kampung. Untuk makan saja kami masih sering alpanya.
“Badanmu masih terlalu kekar untuk menjadi pengemis. Pantas
saja kaleng bekasmu itu tidak pernah penuh. Mereka yang lewat akan berpikir dua
kali untuk berbagi rezeki denganmu. Besok kita bertemu lagi di tempat ini, akan
ku ajak kau menemui mandorku. Semoga kau bisa bergabung dalam proyek yang
sedang ku kerjakan. Aku tak bisa lama-lama. Kalau begitu aku pergi dulu.” Ujar
Ren singkat.
Aku kaget
bukan main. Ren mengajakku bekerja bersamanya. Semoga saja besok bisa ku
tinggalkan kaleng bekas ini dari genggaman tangan. Biar saja jadi kuproy atau
kuli proyek sekalipun. Karena pekerjaan bukan tentang masalah menyenangkan atau
tidak namun tentang terpenuhinya kebutuhan. Kalimat itu seakan terus mengiang
di kepalaku. Sesampainya di tempat peristirahatan, aku menceritakan semuanya
pada istriku, Lani. Tidak ada ekspresi berlebihan di wajah sabarnya. Ia hanya
tersenyum senang. Tapi aku tahu, ada doa-doa tulus sedang ia lantunkan di
hatinya.
Hari ini
sungguh berbeda dari hari-hari kemarin. Langit terasa lebih cerah dan seakan
tersenyum padaku lewat lengkungan bulan sabit yang sinarnya begitu terang. Aku
sibuk merangkai keping-keping harapan yang mulai datang menghampiri. Mandor
menerimaku bergabung di proyek. Meski ternyata menjadi kuli proyek jauh lebih
melelahkan ketimbang menjadi pengemis namun aku merasa lebih menjadi seseorang
yang berguna. Setidaknya ada keringat yang harus aku keluarkan untuk mendapat
upah. Kabar baiknya lagi. Aku mendapat satu tempat kosong untuk ditinggali.
Walaupun sama-sama berasal dari kardus tapi kali ini potongan-potongan kardus
dibentuk menyerupai istana. Tidak. Aku berlebihan. Sofi yang mengetahui akan
hal ini berseru tak karuan. “Hore..kita punya rumah. Horee aku tidak akan
kedinginan lagi.” Kata Sofi.
Di tempat
yang baru istriku malah terlihat sedikit murung. Aku yakin tempat ini
mengingatkan Lani pada gubuk kecil kami di kampung. Gubuk yang penuh dengan
kenangan.
“Apa tempat ini membuatmu merindukan gubuk kecil kita,
istriku? Aku akan bekerja keras untukmu dan Sofi. Aku berniat untuk menyisihkan
setiap hasil upahku di proyek untuk pulang. Mungkin ini akan berlangsung lama.
Tapi kau tak perlu khawatir karena akupun tak ingin menderita lebih lama di
Kota orang. Setidaknya, jika kita di kampung kita masih bisa mengurus sepetak
sawah yang Bapakku wariskan dulu. Aku yakin itu akan cukup untuk membiayai
hidup sekaligus sekolah Sofi.” kataku pelan.
“Kau adalah pemimpin keluarga ini. Aku ikut denganmu
sepenuhnya. Sekalipun itu dalam suka maupun duka. Jika kewajibanmu adalah
menafkahi aku dan Sofi maka kewajibanku adalah membantumu, mendoakanmu, dan
selalu berada di sisimu, mas. Kau tidak perlu bersusah payah untuk memikirkan
ongkos pulang, jika memang kelak kita harus kembali ke kampung halaman maka
semua pasti akan ada jalannya.” Jawab istriku. Kalimat-kalimatnya begitu
menyejukkan hati. Membuatku semakin merasa beruntung mendapatkan seseorang
seperti dia.
Hari-hari berlalu begitu cepat. Kata
mandor, pekerjaanku semakin terlihat rapih dan baik. Begitu juga dengan Ren
yang baru dua hari lalu di angkat menjadi wakil mandor. Tapi ini tak
mengundurkan keinginanku untuk kembali ke kampung halaman. Pembuatan apartemen
ini memang sangat membutuhkan banyak tenaga kerja terlatih selain milyaran
modal tentunya. Dari sinilah upahku sudah semakin bertambah. Alhasil tabunganku
sudah cukup untuk membeli tiket kereta api menuju kampung halaman. Sofi yang
masih kecil memudahkan kami untuk dipangku saja selama perjalanan, sehingga aku
cukup membeli dua tiket saja. Setelah berpamitan dengan Ren dan pekerja lainnya
aku, Lani dan Sofi pun segera berangkat ke stasiun. Tak lupa kami mengucapkan
terima kasih atas bantuan yang Ren berikan selama ini. Ren memang orang yang sangat
terlihat cuek walau sebenarnya ia peduli. Tak heran jika mandor sangat percaya
padanya untuk mengatur urusan proyek.
Di kampung halaman, aku kembali
melakukan tugas sebagai seorang petani. Banyak orang yang sibuk menggunjingkan
kami selama berada di Ibu kota. Meskipun tak semuanya begitu. Entah bersumber
darimana warga kampung bisa tahu aku sempat menjadi seorang pengemis. Tambah
lagi dengan kepulanganku yang hanya membawa pakaian seadanya. Hal itu
meyakinkan mereka kalu aku mantan pengemis. Tidak seperti warga lain yang
ketika pulang dari Ibu kota menjadi saudagar kaya raya. Tapi ku rasa telingaku
sudah kebal mendengar cemoohan ibu-ibu yang bergunjing di pinggir pasar. Tak
jarang mereka menggunjing tepat di sebelah telinga istriku. Beruntung, Lani
bukan tipe orang yang mudah terpancing emosinya. Kalau tidak, mungkin akan
terjadi adu mulut seperti yang biasa terjadi di kampungku. Aku melanjutkan
rutinitas seperti biasa. Begitu juga dengan Lani. Aku hanya sesekali memintanya
untuk membantu karena aku lebih senang ia selalu mengawasi Sofi agar tidak
mendengar hal-hal yang dapat menyakiti hati kecilnya yang belum mengerti
apa-apa.
Beberapa dari warga kampung mamintaku
menceritakan pengalaman ketika bekerja di ibu kota. Ada yang benar-benar hanya
ingin tahu. Namun ada juga yang ingin tahu untuk kembali diceritakan kepada
warga lain dengan bumbu yang berlebihan pastinya. Kurasa semua itu wajar.
Manusia memang masing-masing kodratnya.
Beginilah suasana di kampung halaman.
Memang datar-datar saja. Tapi yang jelas lebih baik dari pada di kota orang.
Rutinitas bertani terus berjalan seperti biasa hanya saja kali ini ditemani
oleh para mahasiswa dari fakultas pertanian di salah satu universitas negeri di
kampungku. Mereka sedang memberi pelatihan kepada para petani di sini agar
mendapatkan hasil panen yang lebih baik. Para mahasiswa juga menyampaikan
mengenai Corp Rotation atau penanaman
lahan disesuaikan dengan musim sehingga hasilnya dapat maksimal. Aku mendengar
dengan baik pengarahan dari mereka. Cara penyampaian yang sopan membuat kami
para petani siap mempraktikkan hal-hal yang telah diajarkan. Bulan ini misalnya, dengan hanya sepetak lahan tanam
yang ku miliki hasil panennya pun lebih cepat. Tomat-tomat ini nampak begitu
segar dan sehat. Terdengar seruan beberapa kawan tani yang ikut bergembira
karena berhasilnya panenku kali ini. Namun kurasa tidak dengan tetangga
belakang rumah yang sawahnya terjulur beberapa hektar sampai ke tepian jalan
raya. Dari matanya yang terlihat kurang simpati atas hasil panenku serta tutur
kata yang begitu ketus ketika menjawab pertanyaan basa-basiku. Memang ku dengar
dari segelintir orang kalau hasil panen orang tersebut sedang menurun sekarang.
Aku bukannya tidak peduli. Hanya saja aku tak terlalu ingin tahu mengenai hal
itu. Mengurusi sepetak lahan yang ku miliki saja sudah cukup melelahkan apalagi
harus mengorek-ngorek perkembangan lahan orang lain. Entah karena alasan apa,
aku melihat orang itu beberapa kali berada di lahan ku pada malam hari sambil
berdiri menaburkan sesuatu pada benih tomat yang baru ku semai untuk separuh
lahan yang masih kosong. Segera saja aku membereskan butiran-butiran yang orang
tersebut sebar tadi sehingga tidak mengurangi kualitas tomatku nanti. Aku malas
mancari tahu apa yang ia sebar itu. Toh aku juga sudah dengar dari beberapa
tetangga dekat bahwa ia kurang suka melihat panenku selalu berhasil. Lagi-lagi
aku memaklumi itu. Ya. Akupun sama. Hanya manusia biasa. Dengan kodrat masing-masing
sifat di dalamnya.
Beberapa kawan tani yang ingin mendapat
hasil panen sesehat dan sesegar hasil panenku memintaku untuk mengajari mereka
agar tahu cara merawat sesuatu yang sedang di tanam dengan detail sebagai
pengganti para mahasiswa yang sudah selesai memberikan pengarahan. Awalnya aku
berbagi pengalaman hanya karena senang. Mereka sangat menyenangkan dalam urusan
bertani. Tak jarang mereka mengantarkan beberapa buah dari hasil panennya ke
rumahku. Sofi bilang ini rezekinya. Rezeki anak baik dan penurut sepeti
dirinya. Lani hanya meng-amini. Akupun begitu.
Ternyata rezeki Sofi tidak hanya
terhenti disitu saja. Aku di panggil sampai ke kampung sebelah hanya untuk
memberi pengarahan mengenai cara untuk mendapatkan hasil panen yang baik. Dan
itu tidak gratis. Aku tidak memintanya. Ketika pamit pulang salah satu tani
mengucapkan terima kasih sekaligus menyelipkan sebuah amplop pada saat kami
bersalaman. Hal ini berlangsung berulang kali. Sampai akhirnya aku bisa
menambah beberapa petak luas lahanku. Aku merasa nasib keluargaku kini mulai
berubah meski dengan proses yang panjang. Tahun depan Sofi akan resmi menjadi
siswi sekolah dasar. Saking semangatnya segala perlengkapan sekolah sudah
tersedia di rumah. Sofi juga sudah bisa menjumlahkan beberapa angka yang dia
dapat saat membantu Lani menghitung jumlah ikat sayuran hasil panen. Dan aku
sudah memiliki dua orang yang akan membantuku bertani selain Lani.
“Aku sangat bahagia,Lani.” Kataku sambil tersenyum ke arah
Lani yang sedang menguncir rambut ikal Sofi di bale bambu kecoklatan.
“Akupun begitu, mas. Aku berharap semua yang kita rasakan
sekarang tak akan menghilangkan rasa syukur kita bahkan membuat kita semakin
rajin dan tentunya makin yakin bahwa nikmat-Nya takkan pernah salah alamat.”
Jawab Lani dengan senyum termanis yang pernah ku lihat. Dengan binar-binar
kebahagiaan yang tersembunyi di balik kelopak indah matanya. Lagi-lagi aku
selalu merasa beruntung atas segala anugerah yang Dia berikan, terutama
anugerah terbesarku, istri paling sabar juga anak paling baik dan penurut; Lani
dan Sofi.
Setelah
perjalanan panjang yang begitu melelahkan, aku dapat memahami inti kehidupan
bahwa kebahagiaan yang utama adalah kebahagiaan yang berasal dari hati.
Sementara gemerlap dunia akan mengikuti sesuai yang telah ditentukan oleh-Nya.
Langganan:
Postingan (Atom)