Jumat, 03 Oktober 2014

Pengemis Budiman


Hari telah larut malam. Kini saatnya terlelap, melenyapkan segala letih yang menumpuk. Pada  tepi jalan yang beralaskan potongan kardus. Pada gemerlap suasana ibukota. Pada dinginnya hembusan angin. Aku sibuk mengatur posisi potongan kardus yang berbanjar agar cukup memenuhi tubuh kami. Ya. Kami. Aku, Lani, serta Sofi.
“Istriku, marilah kita tidur hari telah larut malam. Lagi pula, sehari ini telah terlewati meskipun nasib semakin tak pasti. Lihat Sofi, anak kita tertidur pulas memeluk dinginnya bantal pinggiran jalan. Wajahnya polos pucat. Perjalanan kita masih sangatlah panjang.” Kataku sambil membelai rambut panjangnya yang kering terkena polusi sisa-sisa siang tadi. Lani hanya tersenyum. Seperti biasa. Matanya memancarkan benih-benih keletihan. Seharian menyusuri jalanan mengharap belas kasihan dari mereka yang lewat.
“Istriku, marilah kita berdoa. Lagi-lagi tolong jangan hiraukan lapar di perut. Tuhan pasti mendengar doa kita. Sekalipun kita hanya pengemis jalanan.” kataku mencoba menguatkan.
          Lagi-lagi Lani, istriku hanya tersenyum. Mengangguk kecil tanda mengerti. Malam ini kami kedinginan untuk kesekian kalinya. Beruntung, trotar di persimpangan jalan terlihat kosong maka kami tak perlu berebut untuk sekadar menggelar potongan kardus alas tidur. Sebenarnya, aku tak sepenuhnya tidur pada setiap malam. Was-was. Begitulah perasaanku. Mataku terpejam seraya memikirkan akan lari kemana kami jika tiba-tiba petugas datang. Mungkin istriku juga begitu. Tapi ia tak pernah menunjukkan rasa khawatirnya padaku. Bagi Lani, Sofi tertidur pulas dan melupakan rasa lapar di perutnya adalah cukup menenangkan.
          Kami memang tak punya batasan waktu untuk bangun jam berapa seperti kebanyakan orang. Yang terpenting shalat shubuh tidak tertinggal. Berbeda lagi dengan orang-orang seperti kami yang bangun setelah klakson mobil saling bersautan dan tiba-tiba menemukan recehan uang yang sengaja dilempar di depan muka ketika bangun tidur. Mereka sering sebut itu sebagai rezeki di pagi hari.
          Dan pagi ini, Aku bersiap kembali. Mencari tempat yang nyaman untuk di duduki. Begitupun dengan Lani, sibuk mencari tempat istirahat sambil menemani Sofi bermain sekaligus tempat untuk tidur malam nanti. Maklum saja kami belum punya tempat untuk menetap. Aku mulai melangkah menyusuri pinggir kota. Tiba-tiba saja aku merasa ada yang memperhatikan dari sisi kanan jembatan penyebrangan. Semakin tak dihiraukan rasanya semakin aku diperhatikan. Aku menoleh. Tampak seorang laki-laki paruh baya menatapku dengan mata yang melotot. Penampilannya tak jauh berbeda denganku. Baju compang-camping tanpa alas kaki, juga topi lusuh bertuliskan nama salah satu partai di Indonesia. Aku beranjak dari pandanganku, melanjutkan langkah ke tempat tujuan. Mungkin hari ini pinggir jalan setapak di taman kota dapat membuahkan lembaran ataupun recehan yang setidaknya mengenyangkan perut kami sampai esok nanti. Aku memilih tak banyak berkata. Hanya menyodorkan kaleng kecil bekas kepada mereka yang lewat sambil menundukan pandangan. Mengatur posisi duduk paling nyaman untuk beberapa jam. Seketika kaleng bekas yang ku genggam terjatuh. Dihempas tangan dari seseorang yang lewat. Kepalaku otomatis mendongak. Ternyata orang yang sejak tadi memperhatikan dari kejauhan itu kini berada tepat di depanku.
“Ngapain gelar lapak di sini?” tanyanya dengan wajah yang kurang menyenangkan untuk dipandang. Aku hanya terdiam. Bertanya dalam hati apakah ia tak bisa melihat sedang apa aku sekarang atau ia hanya ingin mengejek. Tak mungkin. Sekali lagi. Penampilannya tak jauh berbeda denganku.
“Kau tak biasa duduk di sini kan? Berani sekali tiba-tiba datang tanpa meminta izin terlebih dulu.” Ujarnya ketus.
“Memangnya ada petugas yang berjaga di sini sehingga aku harus lapor dulu sebelum duduk dan mengais rezeki di sini?” tanyaku.
“Petugas? Siapa yang bilang kalo kau harus meminta izin kepada petugas?”
“Lalu kepada siapa?”
“Baiklah. Kalau begitu perkenalkan aku Joy penguasa daerah ini. Jadi setiap pengemis yang ingin mengais rezeki seperti katamu di sini maka harus lapor padaku. Dan tentunya ada pajak yang harus dipenuhi setiap hari.” Jelasnya.
Aku mengernyitkan dahi. Sama sekali tak mengerti apa yang orang itu jelaskan.
“Tenang saja, karena kamu tidak tahu maka aku tidak akan memperpanjang masalah ini asalkan kamu tetap membayar pajak untuk hari pertamamu mengais rezeki di Taman Kota  ini.” Jelasnya melanjutkan. Tanpa pamit lagi ia pergi begitu saja. Bahkan tanpa permintaan maaf sekalipun. Aku melanjutkan duduk kembali. Memungut dua sampai tiga logam yang berjatuhan dari kaleng bekas ini. Berharap mereka yang lewat tidak seperti orang tadi.
Lagi-lagi nasib tidak sebaik harapanku. Namun setidaknya cukup untuk membeli sebungkus nasi dengan dua tempe goreng di dalamnya. “Alhamdulillah.”
Bahagianya melihat Sofi makan dengan lahap lewat suapan kasih sayang Lani.
“Bapak tidak makan?’ tanya Sofi dengan mulut penuh nasi.
“Kamu makan saja dengan ibumu, nak. Sampai kenyang ya.” Jawabku sambil tersenyum.
Seperti malam-malam biasanya. Udara malam selalu sama. Dinginnya menusuk sampai tulang-tulang belakang. Semoga saja nasib tak selamanya sama. Kami menutup malam ini dengan nyanyian riang milik Sofi. Laporan hari ini adalah Sofi berhasil menciptakan sebuah lagu tanpa disengaja. Begitu menyenangkan. Sampai tak sadar ia tertidur dalam pangkuanku.
          Hari-hari berikutnya pun begitu. Semuanya sama. Tak ada yang istimewa. Sampai tibalah waktunya aku bertemu dengan seseorang yang cukup dekat jarak rumahnya dengan kami di kampung dulu. Ia sahabat lamaku. Aku biasa memanggilnya Ren. Ren menceritakan semua pengalamannya di kota. Dari mulai datang sampai akhirnya ia punya pekerjaan tetap sekarang. Sebelumnya, ia nampak kaget sekali melihat aku duduk di tepi jalan seperti ini.
“Bagaimana mungkin kau berani mengambil resiko datang ke kota tanpa tujuan yang jelas akan menjadi apa di sini? Sementara kau meninggalkan sepetak sawahmu di kampung dan berharap mendapat yang lebih di ibu kota.” Tanya Ren heran. Aku hanya tersenyum. Bingung harus menjawab apa atas jenis pertanyaan seperti ini. Bukankah wajar seseorang menginginkan kehidupan lebih baik sekalipun tanpa berpikir lebih panjang.
“Bagaimana kabarmu sekarang, Ren? Kau tinggal dimana? apa pekerjaanmu menyenangkan?” tanyaku mencoba mengalihkan.
“Seperti yang kau lihat. Aku tidak terlalu berbeda seperti dulu. Aku tinggal di tempatku bekerja sekarang. Bagiku, pekerjaan bukan tentang masalah menyenangkan atau tidak namun tentang terpenuhinya kebutuhan. Ingat. Kebutuhan. Bukan keinginan. Hidup ini realistis, kawan.” Jawabnya seraya menepuk bahu kananku. Kami tertawa. Jika dipikir-pikir jawaban Ren benar juga. Kami membicarakan tentang banyak hal. Termasuk tentang niatku untuk kembali ke kampung halaman tentunya bersama Lani, dan juga Sofi. Namun sayang, jangankan ongkos untuk pulang kampung. Untuk makan saja kami masih sering alpanya.
“Badanmu masih terlalu kekar untuk menjadi pengemis. Pantas saja kaleng bekasmu itu tidak pernah penuh. Mereka yang lewat akan berpikir dua kali untuk berbagi rezeki denganmu. Besok kita bertemu lagi di tempat ini, akan ku ajak kau menemui mandorku. Semoga kau bisa bergabung dalam proyek yang sedang ku kerjakan. Aku tak bisa lama-lama. Kalau begitu aku pergi dulu.” Ujar Ren singkat.
          Aku kaget bukan main. Ren mengajakku bekerja bersamanya. Semoga saja besok bisa ku tinggalkan kaleng bekas ini dari genggaman tangan. Biar saja jadi kuproy atau kuli proyek sekalipun. Karena pekerjaan bukan tentang masalah menyenangkan atau tidak namun tentang terpenuhinya kebutuhan. Kalimat itu seakan terus mengiang di kepalaku. Sesampainya di tempat peristirahatan, aku menceritakan semuanya pada istriku, Lani. Tidak ada ekspresi berlebihan di wajah sabarnya. Ia hanya tersenyum senang. Tapi aku tahu, ada doa-doa tulus sedang ia lantunkan di hatinya.
          Hari ini sungguh berbeda dari hari-hari kemarin. Langit terasa lebih cerah dan seakan tersenyum padaku lewat lengkungan bulan sabit yang sinarnya begitu terang. Aku sibuk merangkai keping-keping harapan yang mulai datang menghampiri. Mandor menerimaku bergabung di proyek. Meski ternyata menjadi kuli proyek jauh lebih melelahkan ketimbang menjadi pengemis namun aku merasa lebih menjadi seseorang yang berguna. Setidaknya ada keringat yang harus aku keluarkan untuk mendapat upah. Kabar baiknya lagi. Aku mendapat satu tempat kosong untuk ditinggali. Walaupun sama-sama berasal dari kardus tapi kali ini potongan-potongan kardus dibentuk menyerupai istana. Tidak. Aku berlebihan. Sofi yang mengetahui akan hal ini berseru tak karuan. “Hore..kita punya rumah. Horee aku tidak akan kedinginan lagi.” Kata Sofi.
          Di tempat yang baru istriku malah terlihat sedikit murung. Aku yakin tempat ini mengingatkan Lani pada gubuk kecil kami di kampung. Gubuk yang penuh dengan kenangan.
“Apa tempat ini membuatmu merindukan gubuk kecil kita, istriku? Aku akan bekerja keras untukmu dan Sofi. Aku berniat untuk menyisihkan setiap hasil upahku di proyek untuk pulang. Mungkin ini akan berlangsung lama. Tapi kau tak perlu khawatir karena akupun tak ingin menderita lebih lama di Kota orang. Setidaknya, jika kita di kampung kita masih bisa mengurus sepetak sawah yang Bapakku wariskan dulu. Aku yakin itu akan cukup untuk membiayai hidup sekaligus sekolah Sofi.” kataku pelan.
“Kau adalah pemimpin keluarga ini. Aku ikut denganmu sepenuhnya. Sekalipun itu dalam suka maupun duka. Jika kewajibanmu adalah menafkahi aku dan Sofi maka kewajibanku adalah membantumu, mendoakanmu, dan selalu berada di sisimu, mas. Kau tidak perlu bersusah payah untuk memikirkan ongkos pulang, jika memang kelak kita harus kembali ke kampung halaman maka semua pasti akan ada jalannya.” Jawab istriku. Kalimat-kalimatnya begitu menyejukkan hati. Membuatku semakin merasa beruntung mendapatkan seseorang seperti dia.
Hari-hari berlalu begitu cepat. Kata mandor, pekerjaanku semakin terlihat rapih dan baik. Begitu juga dengan Ren yang baru dua hari lalu di angkat menjadi wakil mandor. Tapi ini tak mengundurkan keinginanku untuk kembali ke kampung halaman. Pembuatan apartemen ini memang sangat membutuhkan banyak tenaga kerja terlatih selain milyaran modal tentunya. Dari sinilah upahku sudah semakin bertambah. Alhasil tabunganku sudah cukup untuk membeli tiket kereta api menuju kampung halaman. Sofi yang masih kecil memudahkan kami untuk dipangku saja selama perjalanan, sehingga aku cukup membeli dua tiket saja. Setelah berpamitan dengan Ren dan pekerja lainnya aku, Lani dan Sofi pun segera berangkat ke stasiun. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih atas bantuan yang Ren berikan selama ini. Ren memang orang yang sangat terlihat cuek walau sebenarnya ia peduli. Tak heran jika mandor sangat percaya padanya untuk mengatur urusan proyek.
Di kampung halaman, aku kembali melakukan tugas sebagai seorang petani. Banyak orang yang sibuk menggunjingkan kami selama berada di Ibu kota. Meskipun tak semuanya begitu. Entah bersumber darimana warga kampung bisa tahu aku sempat menjadi seorang pengemis. Tambah lagi dengan kepulanganku yang hanya membawa pakaian seadanya. Hal itu meyakinkan mereka kalu aku mantan pengemis. Tidak seperti warga lain yang ketika pulang dari Ibu kota menjadi saudagar kaya raya. Tapi ku rasa telingaku sudah kebal mendengar cemoohan ibu-ibu yang bergunjing di pinggir pasar. Tak jarang mereka menggunjing tepat di sebelah telinga istriku. Beruntung, Lani bukan tipe orang yang mudah terpancing emosinya. Kalau tidak, mungkin akan terjadi adu mulut seperti yang biasa terjadi di kampungku. Aku melanjutkan rutinitas seperti biasa. Begitu juga dengan Lani. Aku hanya sesekali memintanya untuk membantu karena aku lebih senang ia selalu mengawasi Sofi agar tidak mendengar hal-hal yang dapat menyakiti hati kecilnya yang belum mengerti apa-apa.
Beberapa dari warga kampung mamintaku menceritakan pengalaman ketika bekerja di ibu kota. Ada yang benar-benar hanya ingin tahu. Namun ada juga yang ingin tahu untuk kembali diceritakan kepada warga lain dengan bumbu yang berlebihan pastinya. Kurasa semua itu wajar. Manusia memang masing-masing kodratnya.
Beginilah suasana di kampung halaman. Memang datar-datar saja. Tapi yang jelas lebih baik dari pada di kota orang. Rutinitas bertani terus berjalan seperti biasa hanya saja kali ini ditemani oleh para mahasiswa dari fakultas pertanian di salah satu universitas negeri di kampungku. Mereka sedang memberi pelatihan kepada para petani di sini agar mendapatkan hasil panen yang lebih baik. Para mahasiswa juga menyampaikan mengenai Corp Rotation atau penanaman lahan disesuaikan dengan musim sehingga hasilnya dapat maksimal. Aku mendengar dengan baik pengarahan dari mereka. Cara penyampaian yang sopan membuat kami para petani siap mempraktikkan hal-hal yang telah diajarkan. Bulan  ini misalnya, dengan hanya sepetak lahan tanam yang ku miliki hasil panennya pun lebih cepat. Tomat-tomat ini nampak begitu segar dan sehat. Terdengar seruan beberapa kawan tani yang ikut bergembira karena berhasilnya panenku kali ini. Namun kurasa tidak dengan tetangga belakang rumah yang sawahnya terjulur beberapa hektar sampai ke tepian jalan raya. Dari matanya yang terlihat kurang simpati atas hasil panenku serta tutur kata yang begitu ketus ketika menjawab pertanyaan basa-basiku. Memang ku dengar dari segelintir orang kalau hasil panen orang tersebut sedang menurun sekarang. Aku bukannya tidak peduli. Hanya saja aku tak terlalu ingin tahu mengenai hal itu. Mengurusi sepetak lahan yang ku miliki saja sudah cukup melelahkan apalagi harus mengorek-ngorek perkembangan lahan orang lain. Entah karena alasan apa, aku melihat orang itu beberapa kali berada di lahan ku pada malam hari sambil berdiri menaburkan sesuatu pada benih tomat yang baru ku semai untuk separuh lahan yang masih kosong. Segera saja aku membereskan butiran-butiran yang orang tersebut sebar tadi sehingga tidak mengurangi kualitas tomatku nanti. Aku malas mancari tahu apa yang ia sebar itu. Toh aku juga sudah dengar dari beberapa tetangga dekat bahwa ia kurang suka melihat panenku selalu berhasil. Lagi-lagi aku memaklumi itu. Ya. Akupun sama. Hanya manusia biasa. Dengan kodrat masing-masing sifat di dalamnya.
Beberapa kawan tani yang ingin mendapat hasil panen sesehat dan sesegar hasil panenku memintaku untuk mengajari mereka agar tahu cara merawat sesuatu yang sedang di tanam dengan detail sebagai pengganti para mahasiswa yang sudah selesai memberikan pengarahan. Awalnya aku berbagi pengalaman hanya karena senang. Mereka sangat menyenangkan dalam urusan bertani. Tak jarang mereka mengantarkan beberapa buah dari hasil panennya ke rumahku. Sofi bilang ini rezekinya. Rezeki anak baik dan penurut sepeti dirinya. Lani hanya meng-amini. Akupun begitu.
Ternyata rezeki Sofi tidak hanya terhenti disitu saja. Aku di panggil sampai ke kampung sebelah hanya untuk memberi pengarahan mengenai cara untuk mendapatkan hasil panen yang baik. Dan itu tidak gratis. Aku tidak memintanya. Ketika pamit pulang salah satu tani mengucapkan terima kasih sekaligus menyelipkan sebuah amplop pada saat kami bersalaman. Hal ini berlangsung berulang kali. Sampai akhirnya aku bisa menambah beberapa petak luas lahanku. Aku merasa nasib keluargaku kini mulai berubah meski dengan proses yang panjang. Tahun depan Sofi akan resmi menjadi siswi sekolah dasar. Saking semangatnya segala perlengkapan sekolah sudah tersedia di rumah. Sofi juga sudah bisa menjumlahkan beberapa angka yang dia dapat saat membantu Lani menghitung jumlah ikat sayuran hasil panen. Dan aku sudah memiliki dua orang yang akan membantuku bertani selain Lani.
“Aku sangat bahagia,Lani.” Kataku sambil tersenyum ke arah Lani yang sedang menguncir rambut ikal Sofi di bale bambu kecoklatan.
“Akupun begitu, mas. Aku berharap semua yang kita rasakan sekarang tak akan menghilangkan rasa syukur kita bahkan membuat kita semakin rajin dan tentunya makin yakin bahwa nikmat-Nya takkan pernah salah alamat.” Jawab Lani dengan senyum termanis yang pernah ku lihat. Dengan binar-binar kebahagiaan yang tersembunyi di balik kelopak indah matanya. Lagi-lagi aku selalu merasa beruntung atas segala anugerah yang Dia berikan, terutama anugerah terbesarku, istri paling sabar juga anak paling baik dan penurut; Lani dan Sofi.
          Setelah perjalanan panjang yang begitu melelahkan, aku dapat memahami inti kehidupan bahwa kebahagiaan yang utama adalah kebahagiaan yang berasal dari hati. Sementara gemerlap dunia akan mengikuti sesuai yang telah ditentukan oleh-Nya.