Selasa, 22 April 2014

Usai Senja


Sore ini, lagi-lagi ingatanku merekat padamu. Ditemani semilir angin yang membuat nyiur-nyiur itu menari penuh kesenduan dan aku..aku semakin larut. Luka yang kau hadirkan sering mengundang rasa sesak belakangan ini. Entah bagaimana dengan perasaanmu, karena sepertinya aku (ingin) mulai tak peduli. Jelas ini masih tahap percobaan karena mustahil aku dapat melupakan setiap kenangan yang tercipta dalam kurun waktu yang lama hanya dengan sekejap. Awalnya, aku masih mengingkar dari kepenatan ini. Kau tahu mengapa? Karena aku terlalu menaruh rasa percaya padamu namun kau malah pergi meninggalkan duka yang begitu menjerat. Sungguh aku ingin lepas dari ini semua, manakala ada hal yang dapat membuatku teringat padamu..rasanya ingin sekali aku lemparkan nuklir ke kepalamu yang botak itu! Sadarlah sayang, keputusanmu itu tak memberi jalan keluar.
Mereka mungkin terlihat tak peduli, tapi kau hanya melihat dari sebelah sudut saja, adikku sayang. Untuk apa kau mencari ketika sebenarnya kau telah menemukan. Aku di sini, mencoba tegar hanya untuk memberi kekuatan kecil padamu. Kini aku semakin merasa asing dalam hidupku sendiri, selalu saja ku merasa sendiri walau sesungguhnya aku berada dalam keramaian. Bahkan kau tak tahu betapa aku hancur karena seakan aku tak bisa menjagamu. Bagaimana tidak? Kau mati dengan tragis seperti oarang tak punya iman.
“Perpisahan mereka mungkin terlalu dini untuk kau rasakan akibatnya, bukan hanya kau yang kehilangan..tapi aku juga Dik. Semoga kau jauh lebih tenang di sana.” Kataku sambil menebar kembang di atas makammu sebelum akhirnya doa orang laki-laki berpiakaian polisi itu datang.
“Permisi..”  tegur laki-laki berjaket hitam.
“Maaf ada apa Pak?” tanyaku bingung.
“Kami minta maaf bila kedatangan kami menambah beban mbak sebagai kakak dari Didit Sunandar, namun ada hal yang harus kami sampaikan, satu bulan lalu, Didit dan dua temannya melakukan perampokan di minimarket bos saya, sebenarnya bos saya ingin Mereka mempertanggungjawabkannya di kepolisian, namun karena ini tak bisa dilakukan maka pihak keluarga wajib membayar denda sebesar Rp. 10.000.000 per pelaku sebagai tanda berdamai sekaligus mengganti kerugian yang diakibatkan oleh Alm.Didit dan kedua temannya.. Dan dua temannya sudah sepakat untuk berdamai.” Jelas Pak polisi.
“Apa? Mana mungkin adik saya melakukan perampokan? Dia bahkan tak pernah ingin mengambil lebih uang jajannya, jadi tak mungkin ia melakukan hal itu. Lagipula dia selalu tercukupi jadi untuk apa dia mencuri?” jawabku.
“Soal hal itu saya tidak ingin tahu dan pasti juga dengan bos saya. Baiklah, saya permisi dulu. Mbak bisa mengirimka uangnya melalui rekening bos saya yang nanti akan disms-in pinnya. Sekali lagi saya minta maaf dan ikut berduka cita atas kepergian Didit.” Kata laki-laki satunya.
Lagi-lagi ini bukan soal biaya, namun kenapa sampai bisa begini tingkahmu Dik. Hanya dengan waktu kurang lebih 3bulan meninggalkan rumah kau sudah bisa berbuat seperti ini. Kalau sudah seperti ini, dengan siapa aku berbicara? menumpahkan semua beban hidupku ini. Suasana sepertinya jadi lebih mencekam, aku tak bisa menyalahkan Didit seutuhnya. Mungkin tekanan yang aku rasakan tak sehebat tekanan yang terjadi pada anak remaja layaknya Didit. Perceraian papa dan mama membuahkan banyak makna, hikmah setelah awalnya hanya keluhan yang membugkus. Aku harus yakin bahwa Dia selalu punya rencana indah dibalik ujian yang Dia berikan. Di sinilah..bersama sinar yang dihasilkan dari bias antara petang dan malam di bawah ekuator. Ini memang belum selesai, tapi ku nikmati semua sebelum akhirnya hilang dan berlalu, bersama senja yang menumpahkan biasnya di aksara membawaku pada satu keyakinan bahwa senja akan segera usai..





Sabtu, 19 April 2014

Noda Kecil

Malam ini tak ada yang berbeda. Semilir angin masih menembus tulang-tulang kecil di dalam sini. Menggetarkan angin yang mungkin telah lama mengendap di tubuhku ditambah dengan angin mungil dari kipas rentan yang tak kunjung henti berputar. Di atas karpet pipih inilah mulainya timbul percakapan. Antara aku dan si kecil yang sok tahu. Ya! dia adikku. mula-mula hanya gelak tawa penuh canda dan keriangan yang tercipta namun hal itu berubah ketika ia mulai lagi dengan ke-sok-tahuannya itu.
Q: "Mengapa banyak bulatan di wajahmu?"
R: "Karena sudah tiba saatnya."
Q: "Ah tapi aku tak ingin miliki yang ini.Terlalu terlihat menonjol."
R: "Hei! kau pikir siapa yang mau menyimpan benda-benda mungil ini?!"
Tak berhenti sampai disitu, dia masih saja berbicara dengan suara khas ledeknya itu. Lalu harus apa? meladeni jiwa periang dan keingintahuannya yang berlebih itu ditambah dengan vonis-vonis nakal berasaskan sebab-akibat. Aku tak sehebat dirimu dalam meluncurkan premis-premis jenaka penuh dendam, Adik kecil.