Sore
ini, lagi-lagi ingatanku merekat padamu. Ditemani semilir angin yang membuat nyiur-nyiur
itu menari penuh kesenduan dan aku..aku semakin larut. Luka yang kau hadirkan
sering mengundang rasa sesak belakangan ini. Entah bagaimana dengan perasaanmu,
karena sepertinya aku (ingin) mulai tak peduli. Jelas ini masih tahap percobaan
karena mustahil aku dapat melupakan setiap kenangan yang tercipta dalam kurun
waktu yang lama hanya dengan sekejap. Awalnya, aku masih mengingkar dari
kepenatan ini. Kau tahu mengapa? Karena aku terlalu menaruh rasa percaya padamu
namun kau malah pergi meninggalkan duka yang begitu menjerat. Sungguh aku ingin
lepas dari ini semua, manakala ada hal yang dapat membuatku teringat padamu..rasanya
ingin sekali aku lemparkan nuklir ke kepalamu yang botak itu! Sadarlah sayang,
keputusanmu itu tak memberi jalan keluar.
Mereka
mungkin terlihat tak peduli, tapi kau hanya melihat dari sebelah sudut saja,
adikku sayang. Untuk apa kau mencari ketika sebenarnya kau telah menemukan. Aku
di sini, mencoba tegar hanya untuk memberi kekuatan kecil padamu. Kini aku
semakin merasa asing dalam hidupku sendiri, selalu saja ku merasa sendiri walau
sesungguhnya aku berada dalam keramaian. Bahkan kau tak tahu betapa aku hancur
karena seakan aku tak bisa menjagamu. Bagaimana tidak? Kau mati dengan tragis
seperti oarang tak punya iman.
“Perpisahan mereka
mungkin terlalu dini untuk kau rasakan akibatnya, bukan hanya kau yang
kehilangan..tapi aku juga Dik. Semoga kau jauh lebih tenang di sana.” Kataku sambil menebar kembang di atas
makammu sebelum akhirnya doa orang laki-laki berpiakaian polisi itu datang.
“Permisi..” tegur laki-laki berjaket hitam.
“Maaf ada apa Pak?”
tanyaku bingung.
“Kami minta maaf bila
kedatangan kami menambah beban mbak sebagai kakak dari Didit Sunandar, namun
ada hal yang harus kami sampaikan, satu bulan lalu, Didit dan dua temannya
melakukan perampokan di minimarket bos saya, sebenarnya bos saya ingin Mereka
mempertanggungjawabkannya di kepolisian, namun karena ini tak bisa dilakukan
maka pihak keluarga wajib membayar denda sebesar Rp. 10.000.000 per pelaku
sebagai tanda berdamai sekaligus mengganti kerugian yang diakibatkan oleh
Alm.Didit dan kedua temannya.. Dan dua temannya sudah sepakat untuk berdamai.”
Jelas Pak polisi.
“Apa? Mana mungkin adik
saya melakukan perampokan? Dia bahkan tak pernah ingin mengambil lebih uang
jajannya, jadi tak mungkin ia melakukan hal itu. Lagipula dia selalu tercukupi
jadi untuk apa dia mencuri?” jawabku.
“Soal hal itu saya
tidak ingin tahu dan pasti juga dengan bos saya. Baiklah, saya permisi dulu.
Mbak bisa mengirimka uangnya melalui rekening bos saya yang nanti akan disms-in
pinnya. Sekali lagi saya minta maaf dan ikut berduka cita atas kepergian
Didit.” Kata laki-laki satunya.
Lagi-lagi ini bukan
soal biaya, namun kenapa sampai bisa begini tingkahmu Dik. Hanya dengan waktu
kurang lebih 3bulan meninggalkan rumah kau sudah bisa berbuat seperti ini.
Kalau sudah seperti ini, dengan siapa aku berbicara? menumpahkan semua beban
hidupku ini. Suasana sepertinya jadi lebih mencekam, aku tak bisa menyalahkan
Didit seutuhnya. Mungkin tekanan yang aku rasakan tak sehebat tekanan yang
terjadi pada anak remaja layaknya Didit. Perceraian papa dan mama membuahkan
banyak makna, hikmah setelah awalnya hanya keluhan yang membugkus. Aku harus
yakin bahwa Dia selalu punya rencana indah dibalik ujian yang Dia berikan. Di
sinilah..bersama sinar yang dihasilkan dari bias antara petang dan malam di
bawah ekuator. Ini memang belum selesai, tapi ku nikmati semua sebelum akhirnya
hilang dan berlalu, bersama senja yang menumpahkan biasnya di aksara membawaku
pada satu keyakinan bahwa senja akan segera usai..