Minggu, 29 September 2019

Tentang "Lelaki di Tengah Hujan"

Tentang “Lelaki di Tengah Hujan”
(Sebuah Novel karya Wenri Wanhar)


Mahakarya luar biasa yang hanya dengan sebuah buku pembaca seolah diajak berkelana menelesuri setiap perjalanan dan perjuangan di masa silam tepatnya waktu dimana setiap massa bahu-membahu menggulirkan rezim totaliter-diktator Soeharto pada tahun 1998. Bujang Parewa, tokoh utama dalam buku ini disampaikan sebagai seorang aktivis yang begitu gigih mengentaskan setiap ketidakadilan pada bumi dimana ia berpijak. Diawali kisahnya sebagai aktivis yang tertangkap atas meledaknya kasus Bom di Rumah Susun yang ia tinggali tepatnya di Jakarta Pusat. Kemudian muncul tokoh-tokoh lain seperti Eka Sulastri, Joni Trotoar sebagai rekan berpikir yang baik bagi Parewa, serta Sarah, Farida dan beberapa nama perempuan yang pembaca yakini adalah bagian daripada bunga revolusioner perjuangan Parewa dan kawan-kawannya. Buku ini bukan hanya menceritakan bagaimana perlawanan demi perlawanan dirancang dan dilaksanakan, tetapi juga membongkar habis bagaimana persahabatan dan cinta dapat menjadi seutuhnya kekuatan dalam menghadapi lini kehidupan.
Salah satu aktivis bernama Eka yang juga merupakan rekan sejawat Parewa membeberkan keadaan pada masa itu dimana ideologi moral membuat gerakan mahasiswa hanya menambal silam kebobrokan sistem dan kekuasaan, tapi tak berani memimpin perubahan itu sendiri dengan merebut kekuasaan. Akibatnya, alat-alat politik seperti partai, parlemen dan pemerintahan tetap dikuasai kelas sosial dan kelmpok politik dominan. Sementara pada saat yang bersamaan, pemahaman penderitaan dan penindasan rakyat secara teoritis hanya berasal dari kampus dan buku-buku bacaan belaka.
Sejak dulu, budaya oportunisi di kalangan aktivis sudah mendarah daging. Ditandai dengan adanya relasi antara gerakan mahasiswa dengan fraksi-fraksi elite politik. Dalam buku “Lelaki di Tengah Hujan” ini juga disampaikan kelemahan gerakan mahasiswa pada masa itu ialah soal tuntutan yang kerapkali sangat elitis tanpa propaganda luas dan tanpa memberi pendidikan politik pada rakyat.
Secara subjektif, alur cerita yang menarik sekaligus menegangkan membuat pembaca pemula dalam genre buku pergerakan harus lebih memerhatikan secara detail tiap hal yang disampaikan dalam buku ini karena ketika satu bagian saja lenyap dalam pandangan maka pembaca akan melewatkan keutuhan makna dari setiap perjuangan yang dilakukan tokoh-tokoh di dalam novel ini. Penderitaan, penyiksaan, perlawanan dan segala ketegangan yang coba diungkapkan penulis dirasa berhasil membuat pembaca ikut terbayang dan turut merasakan apa yang dialami para tokoh di masa itu. Dengan demikian, setidaknya pembaca yang dominan berasal dari generasi millenial ini dapat mengintip perjuangan para aktivis di masa silam yang rela mengesampingkan segala kehidupan pribadinya guna mewujudkan Indonesia yang sejahtera.
Perlawanan demi perlawanan dilakukan masih dalam rangka menggulingkan rezim yang disebut-sebut sebagai rezim yang zalim tidak secara mudah dapat terlaksana. Berbagai bentuk kekecewaan rakyat ditumpkahkan dalam aksi-aksi demonstrasi yang bukan hanya dilakukan oleh para mahasiwa tetapi juga melibatkan masyarakat langsung, meskipun tidak berjalan mulus para aktivis tak pernah kehabisan akal dan semangat untuk menuntaskan perjuangan mereka. Siksaan-siksaan yang pernah dirasa dan dialami pun bukan menjadi suatu soal yang dapat menghentikan maksud dan tujuan pemuda-pemudi kebanggan bangsa.
Hingga pada puncaknya, 21 Mei 1998 Soeharto menyatakan diri untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Sebuah kabar yang telah lama dinanti khalayak luas, bayaran dari setiap tetes darah yang tumpah lewat penyiksaan, penderitaan dan penindasan yang telah lama menggandrungi masyarakat Indonesia.
Buku yang bertajuk Novel berjudul “Lelaki di Tengah Hujan” ini semacam pintu yang dapat mengantarkan para pembaca menemui sisi nasionalis yang lebih dalam lagi, untuk itu sangat jelas keberadaan buku ini tidak boleh dilewatkan khususnya bagi kalangan mahasiswa yang merupakan suara kebebasan dari seluruh rakyat karena melalui buku ini ada hal-hal yang dapat lebih dalam kita pahami dalam mencapai kejayaan tonggak perlawanan.

Regards,
Ayuni.

1 komentar: